Kamis, 01 September 2011

SATU


Pesta pernikahan kakak sepupuku, Mas Bud, dapat dikatakan sangat meriah dan sangat mewah. Dia memang sangat beruntung, perwakannya yang over size dengan perut yang mirip gentong itu tidak menghalanginya untuk menikahi Mbak Nin, seorang wanita yang sangat cantik dengan body yang sangat aduhai. Aku pun heran, kenapa wanita secantik Mbak Nin yang memiliki tubuh langsing dengan tinggi 170cm itu mau menikahi Mas Bud. Apa mungkin karena kekayaan Mas Bud? Tapi masa bodolah, yang pasti mataku selalu tidak bisa lepas dari Mbak Nin, dan otakku pun sibuk memikirkan sesuatu yang sangat nakal.

Seperti biasa, setiap 2 bulan sekali diadakan petemuan keluarga. Karena keluarga kami merupakan keluarga yang sangat besar. Setiap pertemuan keluarga, aku selalu berusaha untuk mencuri pandang, kecantikan dan kemolekan tubuh Mbak Nin yang sempurna itu memang membuatku jatuh cinta dan sangat bernafsu. Ingin rasanya memeluk, mencium dan becinta dengannya. Tapi sayang pertemuan keluarga yang hanya sehari semalem itu sangatlah sebentar bagiku. Aku selalu tidak pernah puas untuk menghayalkan Mbak Nin.

Setelah 14 kali pertemuan keluarga, sekitar 2 tahun setelah pernikahan Mas Bud dan Mbak Nin, akupun kuliah di Jakarta. Karena rumahku di Bandung, aku terpaksa harus mencari tempat kost.

Tapi Mas Bud melarangku dan menyuruhku tinggal di rumah besarnya. Aku disuruh menjaga rumah selama kepergian Mas Bud ke negeri Belanda selama kira-kira 2 Bulan. "Sekalian menemani Mbak Nin." Kata Mas Bud. Aku jelas bersedia, selain ngirit uang kost juga bisa selalu melihat keindahan Mbak Nin.

Satu minggu telah belalu semenjak kepegian Mas Bud. Aku pun sibuk di kampus dengan berbagai jenis kegiatannya. Aku berusaha menyibukkan diriku agar pikiran kotor mengenai Mbak Nin dapat aku tepis. Aku tidak mau menghianati Mas Bud, kakak sepupuku.

Jam 7 malam tepat aku sampai dirumah Mas Bud, yang kini hanya didiami oleh satu orang pembantu rumah tangga, satu orang satpam, aku dan Mbak Nin. Aku lihat Mbak Nin belum pulang. Aku pun bebersih diri dan kemudian bersantai di kursi sofa sambil mendengarkan music klasik dari Beethoven. Dolby Digital Suround Sound System Super DTC yang ada diruangan tengah itu membuai diriku dan akupun terlelap. Entah berapa lama aku tertidur di kursi sofa sampai kemudian aku terbangun dengan dering telephone dari mesin faximile yang ada di kantor pribadi Mas Bud. Aku terkejut, terbangun dan bermaksud menuju ke arah suara telephone tersebut.

Belum sempat aku beranjak dari kursi sofa, aku melihat suatu pemandangan yang sangat mengejutkan. Pintu kamar Mbak Nin terbuka, dan keluarlah Mbak Nin dengan rambut yang basah dan hanya di bungkus handuk berlari menuju kearah ruang kerja Mas Bud. Dari ruang santai tersebut aku bisa melihat jelas kearah ruang kerja Mas Bud. Aku lihat Mbak Nin sedang berbicara dengan seseorang di telephone tersebut.

Handuk itu membungkus tubuh Mbak Nin mulai dada sampai sampai perbatasan antara pantat dan pahanya. Hatiku berdebar sangat keras melihat itu semua. Terlihat betapa sintalnya tubuh Mbak Nin. Walaupun terbungkus handuk, bentuk pinggul dan pantatnya dapat terlihat jelas.

Jantungku tambah tidak karuan ketika Mbak Nin mengambil sebuah buku dari lemari atas yang membuat handuk tersebut semakin terangkat. "Oh, My God!!!" Ternyata Mbak Nin tidak memakai CD, terlihat belahan pantatnya yang sangat bulat, padat, putih dan mulus tak bercacat. Mbak Nin membalikan tubuhnya, aku terkejut dan tetap pura-pura tertidur. Mbak Nin kemudian duduk diatas meja kerja Mas Bud dan membaca buku yang baru saja diambilnya. Hal ini membuatku semakin gila. Kali ini Mbak Nin menyilangkan kakinya yang ramping itu agak tinggi sehingga handuknya makin naik ke atas. Benar-benar meupakan pemandangan yang sangat indah, pahanya yang putih mulus serta padat berisi itu membuat jantungku serasa mau copot.

"Pletak....!!!" Tak sengaja kakiku menyenggol vas bunga di atas meja didepan kursi sofa tempat aku berbaring. Aku kaget setengah mati takut ketahuan Mbak Nin. Untung aku tidak kehabisan akal, aku bangun dan membenarkan posisi vas bunga tadi dengn terus berpura-pura tidak menyadari keberadaan Mbak Nin.

"Apaan tuh?" Tanyanya yang kemudian aku jawab dengan singkat. "Eh..., ini Mbak vas bunganya jatuh." Jawabku. "Gustaf, kesini deh sebentar....!" Aku kaget setengah mati, Mbak Nin memanggilku. aku berjalan dengan pura-pura sempoyongan karena masih mengantuk. Aku berjalan menuju ruang kerja Mas Bud. Kulihat dari dekat Mbak Nin dengan posisi yang masih sama memandangi ku. Perpaduan antara betis indah dengan paha yang putih, mulus padat berisi itu semakin jelas.

"Duduk sini!" Perintahnya sambil menunjukan kursi yang berada tepat didepan meja yang diduduki Mbak Nin. Aku menurut tanpa sepatah katapun.

Setelah aku duduk di depannya, Mbak Nin mengangkat kaki kanannya dan meletakkan telapak kakinya tepat diantara pahaku. Aku hanya terdiam dengan jantung yang semakin kencang. Entah apa maksud Mbak Nin. "Nih, lihat...., tadi pagi aku kesandung, dan jari kelingkingku sedikit memar." katanya sambil tak hentinya kutatap kakinya yang indah dan bersih itu. Jari-jarinya mungil dan putih sangatlah indah bila di pandang dan di pegang.

"Mau nggak pijitin kaki Mbak?" Aku pun langsung meraih betis yang indah itu. Mbak Nin mengangkat kaki kanannya dari pangkuan kaki kirinya. Aku tak menyadari gerakan itu karena pikiran dan mataku saat itu terfokus kepada sesuatu diantara kedua belah paha Mbak Nin. Aku terkejut, telapak kaki kiri Mbak Nin tiba-tiba membelai dan memutari daerah kemaluanku yang masih tegang dan terbungkus celana jeans ku. aku memandangi Mbak Nin dan.....,

"Jangan kegat, Mbak tau koq, dari dulu kamu selalu merhatiin Mbak terus khan?" Katanya, aku heran dari mana Mbak Nin tahu kalau aku emmang selalu mengagumi keindahannya. "Mbak Nin juga selalu merhatiin kamu, cuma kamu aja yang nggak pernah sadar." Katanya lagi. "Kamu sayang Mbak Nin nggak?" Tanyanya. "Ssssayang Mmmm...mb..mbak!" Jawabku terbata-bata. "Mbak Nin juga sayang kamu?" "Bener deh!" "Kalo kamu sayang Mbak Nin, kamu tolongin Mbak Nin mau khan?" Tanyanya. "Mau Mbak, tolong apaan?" Tanyaku lagi.

"Cium betis Mbak Nin donk sayang!" Baru kali ini Mbak Nin memanggilku sayang, bisanya Mbak Nin hanya memanggil namaku. Tanpa satu pertanyaan pun aku ciumi betisnya yang putih dan indah itu. Aku tidak hanya menciumi betis itu, sesekali aku menjilati betis itu. Makin lama makin keatas sampai ke pahanya. Mbak Nin menggelinjang hebat, desahannya membuatku semakin buas. "Ah...., sayang.....terus sayang....enak...!" Aku menjadi semakin nekat, makin lama aku makin keatas terus dan kemudian bibirku tak hentinya menciumi paha Mbak Nin. Semakin lama semakin keatas.

"Cium aku sayang!" Tiba-tiba Mbak Nin menghentikan gerakanku. Dengan kedua tanggannya Mbak Nin menarik kepalaku dan membimbingku untuk mencium kedua bibirnya yang sangat tipis dan berwarna merah muda. Kita berdua akhirnya saling berciuman. Sesekali lidahku masuk kemulutnya dan begitu pula sebaliknya. Lidah kita saling bermain di dalam mulut. Aku dapat merasakan, kedua tangan Mbak Nin berusaha membuka ikat pinggang kulitku. Aku terdiam saja, sampai akhirnta Mbak Nin menyelipkan tanggannya ke balik celanaku. Mbak Nin meraih batang kemaluanku, aku terus menciuminya sambil mencari ikatan yang mengikat handuk Mbak Nin.

"Mbak aku lepas ya handuknya?" Kataku, Mbak Nin hanya menganggukan kepalanya sambil terus memandangiku. Tak lama kemudian aku lihat Mbak Nin sudah telanjang bulat didepanku, tanpa sehelai benang pun menutupi tubuhnya yang langsing, putih, mulus dan padat tersebut. Terlihat jelas olehku kedua bukit kembarnya. Besarnya tidak seberapa, tetapi memiliki bentuk yang sangat indah. Kencang, Padat, keras dengan puting yang sedikit mencuat keatas. Aku tak sabar, mulutku langsung mendarat tepat di puting susunya. Saat itu aku lakukan segala sesuatu yang bisa mulutku lakukan. Menjilati, menciumi dan menghisap. Kulakukan itu secara bergantian antara yang kiri dan kanan. Aku benar-benar asyik dengan kesibukanku saat itu.

"Ah, sayang...terus sayang...oh." Aku menjelajahi seluruh tubuh bagian atasnya. Dari kedua bukit kembarnya, aku ber alih ke ketiaknya. Aku angkat ke dua tangannya. Ketiaknya yang tanpa bulu dan beraroma wangi itu aku jilati dengan ujung lidahku. Mbak Nin menjepit kepalaku. "Ah, jangan disitu dong, aku nggak kuat, geli!" akupun beralih ke perutnya. "Busyet...!" Pikirku, tak sedikitpun lemak yang aku temukan di perutnya. Sambil menciumi dan menjilati perutnya aku penasaran apakah ada sedikit saja lemak yang bertengger di perutnya. aku memutar ke pinggangnya. "Ah...sayang, ternyata kamu nakal....!" Mbak Nin mulai meracau. aku terus memutari bagian perutnya yang ternyata tak ada lemak sama sekali. "Hebat...., a perfect woman." pikirku. "Tak ada, ya.... betul... sama sekali..., tak ada cacatnya sama sekali tubuh wanita ini." pikirku. "Putih, mulus, padat, bersih, tak berlemak dan kencang." aku terus menikmati menjilati tibuhnya.

"Buka celana kamu sayang...!" Mbak Nin menyuruhku, aku pun melorotkan celanaku sekaligus dengan CD ku, sehingga akupun telanjang bulat. Batang kemaluanku sudah benar-benar mencuat keatas. "Wow, Punya kamu udah bangun rupanya." "Tunggu sebentar ya
.

" Mbak Nin naik keatas meja, seluruh tubuhnya benar-benar di atas meja. Mbak Nin mengatur posisinya, dan akhirnya Mbak Nin nungging diatas meja dengan wajah tepat didepan kemaluanku. Tangannya kirinya meraih dan menarik batang kemaluanku. Aku menurut saja bagaikan kerbau yang di cocok hidungnya. Mbak Nin mulai menciumi kepala kemaluanku "OH....,!" Sekarang giliranku yang merasakan nikmatnya permainan yang Mbak Nin lakukan. Mula-mula hanya kepala kemaluanku yang merasakan hisapan, jilatan, dan sedikit sentuhan giginya yang putih bersih. Lama kelamaan Mbak Nin membenamkan batang kemaluanku sedikit demi sedikit kedalam mulutnya. "Ah...., Uh......!" Aku mendesah pelan dengan sedikit menyeringai untuk menahan gejolak yang sedang berkecamuk di dalam tubuhku. Aku nggak mau hal ini cepat selesai. Mbak Nin terus mempermainkan batang kemaluanku. Kadang sesekali Mbak Nin mengulum kedua bijiku. Hal ini membuat ku sedikit mules, tapi kenikmatan yang aku raih jauh dari itu semua.


Aku tak mau diam, aku julurkan tangan kananku untuk meraih perbatasan punggung dan belahan pantatnya. Untuk mengimbangi permainannya, pantat Mbak Nin yang terlihat nungging, ku remas dengan tangan kanan, sementara tangan kiri masih meraba-raba punggung Mbak Nin, aku raba dan aku belai punggung yang putih mulus itu. Tangan ku bergerak turun menelusuri celah pantatnya, dan sekarang menuju liang kemaluannya. Kemaluan itu kemudian aku sentuh dari belakang, dan terasa sudah sangat basah dan merekah. aku belai-belai bibir luar kewanitaannya dan akhirnya ku belai-belai clitoris-nya. Merasa clitoris-nya tersentuh oleh jari saya, pantat Mbak Nin semakin dinaikkan, dan terasa tegang, kuluman ke batang kejantanan ku semakin kencang dan buas. Melihat perpaduan antara belaian klitoris, punggung yang putih mulus dan kuluman rudal, suara kami jadi semakin maracau.

Kocokan mulutnya terhadap Batangku semakin lama semakin dalam dan cepat. Kadang kepalanya naik dan turun, tetapi kadang kepalanya juga sedikit berputar. Sedikit perubahan gerak dari kepalanya, terasa sangat nikmat aku rasakan. Aku mulai kehilangan kendali, ada sesuatu yang bergejolak di atas pangkal batang kemaluanku. Entah mengapa, tangan kanannya menyentuh perutku dan mendorongku. Dorongannya sedikit kuat sehingga aku terduduk di kursi lagi.

"Plop...!" Terdengar suara yang lucu akibat terlepasnya batang kemaluanku dari mulut mungilnya.

"Sekarang giliran kamu sayang." Seakan Mbak Nin tahu, bahwa aku sudah mulai kehilangan kendali. Mbak Nin menghentikan permainannya dan mengatur posisinya lagi.

Aku dapat melihat dengan jelas. Lubang kenikmatan Mbak Nin yang bewarna merah muda dan merekah itu. Aku memandanginya sejenak. Betapa indah lubang surga Mbak Nin yang membuatku seakan tak bernafas menahan gelora dan aliran listrik yang mulai over load. Jari tengah tangan kanan Mbak Nin mempermainkan lubang surganya kekiri, kekanan, keatas, dan kebawah sehingga tampak kemaluan Mbak Nin kembang seakan kembang kempis. Sesekali Mak Nin Mempermainkan clitoris-nya sendiri. Tak berapa lama, wajahnya yang cantik dengan rambutnya yang hitam legam dan panjang itu menengok kebelakang, matanya yang semula bulat kini redup, dan dari bibirnya yang indah Mbak Nin berkata," Kamu mau ini khan?" ujar Mbak Nin yang posisinya semakin menungging untuk menunjukan keindahan ludang surganya kepada ku agar lebih jelas dan agar aku semakin gila.

"Cukup sudah....!" Pikirku. "Aku nggak tahan lagi." Maka aku dekatkan batang kejantananku yang sudah tegak keras keatas dengan lubang kewanitaannya yang semakin harum dan basah itu.

"Ah...... sayang.......Ufhhhh!" Aku tempelkan kepala batang ku ke clitoris-nya dan aku gesek-gesekan ke sekitar lubang kenikmatannya.

"Sekarang sayang, sekarang." Mbak Nin sudah tidak bisa menahan hawa nasfunya. Tangan kirinya menjulur kebelakang dan meraih batang kemaluanku. Mbak Nin membimbingnya mendekati gua surga itu, dan......,

"Ssss........slek!" secara perlahan dan mantap, batang kemaluanku telah terbenam di lubang kenikmatan Mbak Nin.

Aku dorong pantatku secara amat sangat perlahan sehingga batang kemaluanku pun masuk secara amat sangat perlahan pula. Mulai dari bagian kepala kemaluanku, kemudian bagian leher, kemudian bagian batang, hingga semuanya amblas sampai ke pangkal kelamulanku. "Ahhhh.........." Mbak Nin dan akupun mendesah menahan kenikmatan yang tiada tara tersebut seiring dengan pergerakan batang kejantananku. Aku sengaja tidak langsung mengocokkan kontolku, aku diamkan semua bagian kejantannanku tetap habis amblas di lubang surganya sejenak. Aku rasakan sejenak betapa rasa lembab, basah, dan hangat yang luar biasa indah menyelimuti kemaluanku. Walaupun kemaluanku masih belum bergerak, aku dapat merasakan kemaluan Mbak Nin yang tidak hanya sempit, tapi juga dapat menghisap dan menekan-nekan kemaluanku. Tanpa menarik kontolku, aku gerakan pantatku kedepan tiga kali sehingga...., "Bleb, bleb, bleb..!" Posisi Mbak Nin pun sedikit maju karena tekanan dari ku.

"Oh....,Ah....., Oh.....!" Desahan Mbak Nin seiring dengan tekanan tadi. "Sayang, cepat donk, pompa aku semau kamu!" Pinta Mbak Nin. Aku mulai menarik dengan perlahan kemaluanku sampai sebatas leher kemaluanku, kemudian aku tekan perlahan, tapi hanya sampai setengah batang kejantananku, kemudan aku tarik, aku tekan setengah, tarik, tekan, tarik tekan.... terus begitu secara berulang. Aku melakukan dengan cara yang aku baca dari buku kama sutra, yaitu, aku tarik keluar kejantananku sampai sebatas leher dan kemudian aku masukan hanya setengah dari batang kejantananku sebanyak 10 kali, dan kemudian diselingi 1 kali keluar sebatas leher dan masuk sampai amblas semua batangku dan menahannya sejenak untuk memberikan kesempatan kepada Mbak Nin untuk melakukan gerakan berputar.

"Crek,crek...crek...crek." Suara indah itu terulang sepuluh kali, diselingi dengan.... "Sleb...." sebanyak sekali "Plok, plok, plok, plok...!" Suara yang muncul akibat benturan antara pangkal pahaku dengan pantat putih mulus Mbak Nin membuat suasana semakin indah. Memek Mbak Nin memang gila. Betapa aku tak perlu mengangkat pantatku sedikit keatas agar mendapat gesekan dan tekanan pada bagian atas batang kemaluanku, atau ke bawah agar gesekannya lebih terasa di bawah, atau kekiri, atau kekanan....., semua itu tidak perlu sama sekali. Kemaluan Mbak Nin yang benar-benar lubang surga itu sudah sangat sempit, sehingga menekan dan menggesek semua permukaan kontolku, dari ujung kepala sampai ke pangkal kemaluanku.

Aku tak bisa lagi mengatur gerakanku, semakin lama gerakanku semakin cepat, dan tekanannya pun semakin keras. Dari posisiku yang di belakang, aku dapat jelas melihat penisku keluar masuk cepat ke lubang vaginanya, dan saking pasnya, terlihat bibir vagina Mbak Nin itu tertarik keluar setiap batangku kutarik keluar.

"Oughhh, ough..., ah.....,oh....., kamu hebat sayang." Mbak Nin terus mendesah dan meracau. Sesekali dengan posisinya yang menungging, tangan kanan Mbak Nin kebelakang dan menyentuh perutku untuk menahan tekanan yang aku lakukan. Aneh memang, Mbak Nin menahan laju tekanan penisku dengan tangannya, tetapi Mbak Nin terus meracau..."Terus sayang, ah..., terus, terus sayang.....!"

Buah dada Mbak Nin terpental-pental dan desahannya benar-benar menghanyutkan, seperti suara musik terindah yang pernah aku dengar. "Ahhh... shh ssshhh sayang, Ohh.... enakkk... Uhhh uhhh... hmmm...Enak sayang....terus!" Seru Mbak Nin

"Aowww....!" Tiba-tiba Mbak Nin sedikit berteriak. "Kenapa Mbak, sakit ya?" Tanyaku yang hanya di jawab dengan senyum dan gelengan kepalanya saja "Teruskan sayang aku suka koq." Katanya.

Aku berpikir mungkin gerakanku terlalu kuat, ditambah liang vagina Mbak Nin yang begitu sempitnya. Maka aku ambil inisiatif untuk mengangkat kaki kanannya. Aku angkat kaki kanannya agar lubang surga Mbak Nin sedikit lebih longgar, sehingga Mbak Nin dapat lebih menikmatinya.

"Oghhhh, fffffff, sayang kamu memang hebat!" Katanya. Karena gesekan yang terjadi sedikit berkurang, aku semakin cepat melakukan gerakan maju mundur dengan sedikit gerakan keatas akibat terangkatnya kaki kanan Mbak Nin dengan tangan kananku. Semua hal itu tidak mengurangi kenikmatan yang aku rasakan, bahkan percintaan kami menjadi lebih variatif, sampai suatu saat aku turunkan lagi kaki kanannya dan kedua tanganku memegang pinggulnya kuat-kuat sambil sesekali meremas pantatnya yang bulat indah itu. Dan.....,

"Oughhh.. sayang.. aku keluar...!!!!" Vagina Mbak Nin kurasakan semakin licin dan hangat, tapi denyutannya semakin terasa. Aku dibuat terbang rasanya. Aku hentikan gerakan maju mundurku, sekarang aku benamkan seluruh batang penisku ke liang vagina Mbak Nin sambil terus mendenyutkan batang kemaluanku. Aku tekan dengan kuat penisku sambil menahan pinggulnya yang indah. Aku yakin benar, denyutan yang aku buat di batang kemaluanku dan tekanan hebat terhadap kewanitaannya membuat orgasme Mbak Nin makin hebat dirasakannya. Terbukti dari kenikmatan orgasmenya itu, sekonyong-konyong membuatnya terbangun dari posisi nunggingnya disertai kedua tanggannya menjambak rambut kepalaku dengan kuat dan wajahnya yang menyeringai menahan gejolak kenikmatan surgawi.

"Hufff, hufff,hufff....!" Nafas Mbak Nin menunjukan dia baru saja mengalami sensasi elektrikal yang hebat menjalar di tubuhnya. Tubuhnya sedikit lemas. Aku tahan beban tubuhnya dengan tangan kiriku yang kemudian melingkari pinggulnya yang padat dan mulus itu sementara tangan kananku mengambil kursi tadi dan kemudian aku duduk di kursi itu sambil memangku dan menciumi bibirnya yang merah merekah.

"Oh sayang, aku keluar, oh enaknya." Mbak Nin berbisik padaku sambil sesekali mencium telingaku. Batang kejantananku pun masih terbenam di dalam kewanitaannya. Apa lagi dengan Mbak Nin di pangkuanku, membuat batang kemaluanku mablas habis sampai di pangkalnya. Hanya saat ini tidak terjadi gerakan-gerakan yang berarti.

"Kamu belum keluar ya?" Tanya Mbak Nin, aku diam saja dengan sedikit menggelengkan kepala. Aku biarkan Mbak Nin berbicara, karena memang aku menikmatinya. Aku biarkan Mbak Nin beristirahat sebentar sambil menciumi wajah ku disertai tangannya yang terus-terusan meraba biji pelerku. Rasa hangat di batang kemaluanku masih begitu terasa, ingin rasanya aku gerakan lagi. Tapi aku bersabar, aku biarkan bidadariku mengumpulkan tenaganya untuk pertarungan tahap berikutnya.

Tak berapa lama, aku coba mendenyutkan batangku. "Ah, aow....geli dong sayang...!" Mbak Nin berceloteh sambil disertai tawanya yang manja. "Kamu masih kuat nggak, sayang?" Aku tidak lagi terdiam, pertanyaan ini harus kujawab.

"Masih donk, Mbak." Kataku, aku masih tetap untuk berusaha menahan diri. "Pindah kekamarku yuk?" Ajak Mbak Nin. "Tapi jangan di lepas ya sayang, punyaku masih betah sama punyamu." Celoteh Mbak Nin.

Secara perlahan dan berhati-hati aku bangun dari kursi itu. Dengan posisi membelakangiku, aku bawa Mbak Nin keatas meja. Dan secara perlahan aku putar tubuh Mbak Nin dengan amat sangat hati-hati karena Mbak Nin tidak ingin kontolku terlepas dari memeknya, begitu pula aku. Dengan sedikit kerjasama, akhirnya kami berdua sudah saling berhadapan. Mbak Nin langsung ku gendong dengan penisku yang masih tatap tertanam. Kedua belah kaki panjang Mbak Nin mengempit pinggangku erat-erat. Aku pun melangkah ke kamar Mbak Nin.

Mas Bud masih di Negeri Belanda dan tidak akan pulang dulu dalam waktu satu setengah bulan ini. Mbak Nin, istri Mas Bud, sepupuku, masih sibuk mengurusi perusahaan tour and travel miliknya. Sedangkan aku, Gustaf, sedang memandang cermin di depan dan dengan seksama aku telusuri perutku sendiri.
"Hmmm, otot perutku sudah lumayan juga!" Pikirku bangga.
"1..., 2..., 3..., 4..., 5..., 6..., Yup enam buah petak." Sepulang kuliah, aku langsung pergi ke pusat kebugaran tubuh. Memang itulah hobyku, aku termasuk cowok yang sangat mementingkan penampilan. Apalagi semenjak kejadian beberapa waktu lalu bersama Mbak Nin. Aku sangat suka dengat tubuh sempurnanya Mbak Nin. Dan aku juga kepingin agar Mbak Nin tergila-gila melihat tubuhku. Mbak Nin dan Aku memang selalu menjaga kebugaran tubuh agar selalu tetap fit.

Sehabis mandi dengan hanya menggunakan celana jeans Levis 501. Aku merebahkan tubuhku sebentar di tempat tidurku. Aku ambil remote control, dan mengarahkan ke sound system dikamarku. Blue Danube Waltz karya Johann Strauss yang dibawakan oleh Vienna Opera Orchestra dengan Peter Falk sebagai conductor-nya mulai menggema di kamarku. Aku letakkan kedua telapak tanganku di bagian belakang kepalaku sebagai pengganti bantal. Keadaan tubuh yang dingin sehabis mandi disertai rasa lelah sehabis membakar lemak dan membentuk tubuhku di pusat kebugaran membuat mataku terasa mulai berat, dan..., beberapa saat kemudian aku tak ingat apa-apa lagi.

Entah mengapa, aku bermimpi sedang bermain bersama kucing kesayanganku yang sudah lama tiada. Dalam mimpiku aku kembali menjadi aku yang masih kecil. Aku berlari berusaha mengejar kucingku yang sedang berlari dan melompat berusaha menangkap kupu-kupu yang sedang terbang di sela-sela bunga anggrek milik ayahku. Aku sangat gembira sekali saat itu. Akhirnya kucingku tak sanggup lagi mengejar kupu-kupu itu seperti aku yang tak sanggup lagi mengejar kucing kesayanganku itu. Aku duduk di kersi tepat disebelah bunga anggrek berwarna Ungu kesayangan ayahku. Kucingku mengikutiku dan duduk dipangkuanku. Terasa di perutku bulu-bulu halus kucingku yang sedang menjilati kaki depannya. aku mulai kegelian, rasanya geli sekali..., ingin rasanya aku tertawa... haha... hihi..., saking gelinya akupun terbangun.

Aku mulai membuka kedua kelopak mataku perlahan. Aku merasakan sesuatu yagng membuatku geli di perutku, tapi itu bukan kucing lagi seperti yang di dalam mimpi. Ternyata..., yang membuatku geli adalah... , sebuah telapak tangan yang mungil dan lulus sedang mengusap-usap perutku. Aku kaget dan secara reflek aku menengadahkan kepala untuk mencari tahu tangan siapakah itu gerangan.
"Oh....Mbak Nin......., baru pulang Mbak......?" tanyaku lirih.

Mbak Nin hanya menundukan kepalanya. Setiap aku menatap Mbak Nin, selalu aku tertegun dan terpesona dibuatnya. Wajahnya yang sangat cantik..., sudahlah... tak mungkin aku lukiskan keindahannya dengan kata-kata.
"Nggak, Mbak udah dari tadi sampe di rumah, bahkan mbak udah sempet mandi segala." Jawabnya. memang tampak olehku rambutnya yang hitam legam, panjang dan tebal itu masih sedikit basah.
"Aduh..., eh..., apa-apan neh...!" Aku tak bisa menggerakan kedua tanganku dan kedua kakiku. Aku berusaha menggerakannya, akhirnya aku sadar kedua tanganku terikat ke bagian kiri dan kanan tempat tidurku, sedangkan kakiku terikat kebagian bawah tempat tidur. Keadaanku saat itu perses seperti orang yang di salib.
"Aduh Mbak, jangan becanda ah...!" "Aku nggak bisa ngapa-ngapain neh...!" "Mbak..., aduuuuh, geli ah...!"
Mbak Nin hanya tersenyum dengan tak memperdulikan ocehanku. Dia terus meraba perutku dengan jari jemari lentiknya. Mbak Nin terus menyusuri setiap lekukan di perutku.
"Aduh...mbak Udah ah..., nggak tahan neh...!" Kataku memohon. "Sssssst..., diam ah...jangan banyak omong...!" Mbak Nin menghentikan permainan jarinya di perutku.

"Aku nggak bisa tenang tadi di kantor." "Rasanya pengen cepet pulang dan ketemu kamu." Ujar Mbak Nin sambil membelai rambutku.
"Pekerjaan Mbak di kantor jadi nggak bener."
"Mbak nggak bisa konsentrasi mikirin kamu."
"Dan pekerjaan Mbak jadi sedikit kacau."
"Untuk itu, kamu harus dihukum...!"
"Dan sekarang kamu harus siap menerima hukuman kamu" Kata Mbak Nin sambil mengedipkan sebelah matanya yang membuatnya semakin cantik.
"Oh...God, Fallen Angel...!" Kataku dalam hati.

"Tapi nggak usah diiket gini dong Mbak...!" Kataku sedikit memohon.
"Udah diam, ikatan ini hanya hukuman pendahuluan, nanti masih banyak hukuman yang lebih berat lagi." Kata Mbak Nin sambil tersenyum.
"Gustafku, sayangku..., siap ya..., hukuman kamu baru akan di mulai...!" Bisik mbak Nin dengan senyumannya yang mendesirkan sesuatu di tubuhku.
Mbak Nin bangkit dan pergi menuju kearah sound system ku. Terlihat oleh ku, Mbak Nin menggunakan pakaian tidur kesukaannya. Pakaian itu terbuat dari bahan yang sangat indah. Pakaian itu benar-benar jatuh dan pas sekali di tubuhnya yang tinggi semampai. "Benar-benar wanita yang sempurna." Pikirku. Lali dia berjalan menuju sound systemku dan mengganti CD Johann Strauss ku dengan sebuah CD yang Lain. Dia mematikan lampu utama kamarku dan menghidupkan lampu tidur yang letaknya di kiri dan kanan tempat tidurku. Mbak Nin meyandarkan dirinya di tembok, dan tersenyum padaku sambil berjalan perlahan ke arahku. Dia berjalan dengan gayanya yang sedikit genit diiringin dengan lagu klasik kesukaannya, Capriccio Italien karya Tchaikovsky.

"Kamu tau lagu ini khan sayangku?" "Lagu ini membuatku sedikit nakal?" Kata Mbak Nin sambil menaiki tempat tidurku. Mbak Nin merangka perlahan di sebelah kananku. Dia mengatur rambutnya yang bak untaian mutiara hitam itu ke sebelah kanan. Setelah dekat dengan tanganku yang terikat, Mbak Nin mencium telapak tangan kananku.
"Cup...!" Suara kecupan ditanganku membuat diriku mulai bergairah. Mbak Nin akhirnya tidak hanya mengecup telapak tanganku. Dia mulai menjilati pergelangan tanganku dengan sekali-kali menggigit. Mulai dari telapak tangan kananku, terus ke arah pergelangan tanganku, terus dan terus sampai di bahu kananku. Aku kegelian setengah mati.
"Aduh Mbak..., uughhhh, geli mbak...!" Kataku lirih, aku hanya bisa menggerakan bahuku dan kepalaku sedikit saja karena kedua tangan dan kakiku terikat.

Dari bahu kananku, Mbak Nin melangkahiku dengan tetap merangkak. Dia berpindah kesebelah kiriku dan melakukan hal yang sama dengan tangan kananku tadi. Mbak nin menelusuri tagan kiriku dengan lidahnya. Tanganku menjadi basah oleh ludah yang menempel di lidahnya. Hal itu membuat rasa geli yang tidak tertahankan.
"Ouughhhh, Nin...!" Aku tak sadar, aku telah menghilangkan kata Mbak. "Ghhhh...ah, Nin geli ssss...sayang...!" Mbak nin tidak perduli. Dia terus melakukan hal itu terus menerus. Sesampai lidahnya menjulaiti dan menggigit bahuku, Mbak Nin mendekatkan wajahnya yang idah cantik rupawan itu ke wajahku.
"Ayo sayang, cium aku...!" Pinta Mbak Nin sambil membasahi bibirnya dengan lidahnya. Tapi Mbak Nin memang pandai mengangkat libidoku. Setiap aku berusaha mencium bibirnya, dia selalu mengangkat kepalanya untuk menghindar dari kecupanku. Hal itu dia lakukan berulang-ulang membuatku makin penasaran.
"Sabar sayang, belum saatnya...!" Katanya.
Mbak Nin melangkahi tubuhku yang masih terikat, sehingga saat ini tubuhku berada di antara kedua kakinya. Wajahnya yang cantik mulai menciumi leherku. Aku rasakan hembusan kecil nafasnya yang hangat disekitar leherku. Perasaan ku mulai nggak keruan. Mbak Nin terus menciumi dan menjilati leherku disertai gigitan-gigitan kecil. Wajahnya mulai menuruni leherku menuju ke dadaku. Seperti yang telah ku duga, kedua belah bibir mungil nan indah bagaikan bunga mawar yang merekah itu, mulai mempermainkan puting susuku. Dari yang kiri terus ke kanan.
"Oooohhhhh, Nin, kamu nakal...!" Kataku lirih menahan rasa geli yang kini sudah bercampur nikmat. Setelah puas Mbak Nin mulai menruni dadaku dan melakukan hal yang sama dengan perutku. Disini Mbak Nin bermain agak sedikit lebih lama. Tak percuma aku membuang uang, waktu dan tenaga untuk membentuk perutku. Mbak Nin tampak menikmati tonjolan-tonjolan yang berpetak-petak di perutku.
"Ahhh, Nin..., terus sayang aku suka...!" Kataku. Mbak Nin menyudahi mempermainkan otot perutku. Sekarang dia sedikit mundur dan menduduki pahaku. Mbak Nin mengekakkan tubuhnya. Dan kemudian sekali lagi dia mengedipkan sebelah matanya.
"Ahhh...,!" Aku seditit mendesah ketika tangannya membelai dan meremas celana jean ku tepat di bagian yang membungkus kemaluanku. Mbak Nin terus meremas, meremas, dan meremas. Setiap remasan membuatku menaikan sedikit pinggulku. Aku menikmati gerakan tangan Sang Bidadari yang sedang duduk di atasku itu.

 Sedang enak-enaknya aku menikmati remasan tangan Mbak Nin ke celanaku, tiba-tiba Mbak Nin dengan buasnya membuka ikat pingangku dan menariknya sampai terlepas total dari celana jeansku dan melemparnya kelantai. Celanaku di tariknya ke bawah sampai ke betisku. Sekarang satu-satunya yang menutupi kejantananku hanyanlah celana dalam ku saja. Mbak Nin kembali menunduk dan mulai menciumi celana dalamku. Kdang menciumi celana dalamku, kadang meremas-remasnya dengan kuat.
Tak lama kemudian Mbak Nin menggigit ujung celana dalamku dan menariknya ke bawah sampai menumpuk menjadi satu dengan jean ku yang sudah ada di betisku. Kini tak ada lagi yang menutupi kejantananku.
"Gustaf sayang..., ini hukumanmu, kamu suka khan ?" Bisik Mbak Nin. Aku hanya menganggukan kepalaku saja. Belum sempat aku berpikir jauh. Mbak Nin dengan sedikit kasar mengambil dan mencengkeram batang kejantananku yang sedkit mengeras tapi belum mencapai kekerasan maksimum. Mbak Nin menunduk lagi, dan mendekatkan wajahnya ke batang kejantananku.
"Hmmmmp...!" Aku menahan nafas untuk menahan gejolak jiwaku. Mbak Nin menyingkap rambutnya dan mulaimenjilati kepala batang kejantananku. Lidahnya bermain dengan lincah di kepala rudalku. Tidak hanya itu, dia pun menjilati dua buah biji pelerku dan sekali-kali mengulumnya, dan akhirnya tiba saatnya dia mengulum batang rudalku. Yang nampak olehku hanyalan gerakan naik turun kepalanya.
"Ah... Nin, ughhh, oft ahhhh." Tak hentinya aku mendesah. Aku hanya bisa sdikit menggelinjang karena tubuhku masih tetap terikat. Entah berapa lama Mbak Nin mempermainkan batang rudalku. Ludahnya yang hangat, gerakan lidahnya yang lincah, kuluman bibirnya dan sedotan mulutnya memang membawakan surga bagiku. 1 menit. 2 menit, 5 menit atau lebih. Dia terus mengulum dan menjilat batangku. Hingga akhirnya dia berhenti dan berdiri di belakang kakiku yang masih terikat.
"Sayangku kamu suka ya?" Katanya dengan manja. "Aku pergi dulu ya...nggak lama koq." "Hey...hey Mbak Nin...mau kemana...?" Kataku. Mbak Nin tidak memperdulikan ku. Dia malah masuk kamar mandi di kamarku. Aku heran apa yang akan dia lakukan, sementara gairahku mulai tak tertahankan. Tak berapa lama kemudian pintu kamar mandikupun terbuka. Mbak Nin keluar dari sana dengan hanya menggunakan handuk yang membalut tubuhnya. Handuk itu tepat membungkus tubuh surgawi Mbak Nin mulai dari sebatas puting sususunya sampai dengan perbatasan antara paha dan lekuk pantannya. Mbak Nin sesekali berputar-putar di samping kiriku.
"Gimana aku nggak kalah seksi sama kamu khan sayang...!" Tanya Mbak Nin. Aku tak bisa menjawab, aku hanya berulang kali menelan ludahku sendiri. Mbak Nin kemudian menaiki tempat tidurku dari belakang dan melangkahi kedua kakiku yang masih terikat sehingga sekarang kedua kakiku tepat berada diantara kedua kaki Mbak Nin. Dia kemudian berjalan pelan-pelan kearah wajahku.
"Oh...Lord...!" Gumanku. Aku dapat melihat celana putih berenda-renda sehingga menjadikannya sedikit transparan. Terlihat olehku samar-samar bulu halus yang membayang di kemaluannya yang terbungkus kain tipis berenda itu.
"Kamu mau ini khan?" Tanya Mbak Nin. Mbak Nin terus berjalan dengan sangat perlahan menuju wajahku, yang kemudian...astaga... dia menduduki wajahku. Aku mengerti dengan pasti apa yang harus kulakukan. Tapi Sang Bidadari ini memang nakal sekali. Setiap aku mengangkat kepalaku dan mendekatkan mulutku ke arah kemaluannya yang masih tertutup kain putih dan tipis itu, Mbak Nin selalu mengangkat pantatnya sehingga aku gagal menyentuhkan mulutku ke arah surga yang masih tertutup itu. Hal itu dilakukannya berulang kali. Dia mulai berjongkok lagi, aku mengangkat kepalaku, dia bangun, berjongkok, bangun, terus itu dilakukannya beberapa kali. Aku berfikir keras, bagai mana caranya menghentikan semua ini.

"Hi...hi...hihi...!" Bidadari itu tertawa lirih kegirangan melihat diriku yang benar-benar tak berdaya. Tapi tak lama kemudian dengan sedikit kesempatan, ketika Sang dewi kecantikan itu mulai jongkok lagi, aku berhasil menggigit sisi sebelah kiri bagian bawah celana dalam Mbak Nin. Hal itu membuatnya tak bisa bediri lagi.
"Tuh, khan kamu memang nakal...tapi kamu pintar koq." Ujar Mbak Nin. "Lepasin dulu dong gigitan kamu...!" Aku tak perduli, aku sudah kepalang, aku teris menggigit celana dalamnya. "OK, deh... kalo
memang itu yang kamu mau...!" Kata Mbak Nin. Akhirnya dia berusaha berdiri dengan perlahan sehingga celana dalamnya mulai terlepas dari selangkangannya. Tampak olehku secara perlahan. Belahan surgawi yang sangat indah itu membuatku nggak keruan. Setelah terlepas total, aku menggelengkan kepala ku kekiri untuk membuang celana dalam itu kesebelah kiri kepalaku. Sejenak Mbak Nin menggoyang-goyangkan pinggulnya dan memamerkan keindahan belahan surga itu kepadaku. Aku nikmati keindahan itu sambil beberapakali menelan ludahku. Mbak Nin menyukur habis bulu-gulu kemaluannya, dan hanya menyisakan sedikit bulu-bulu halus yang tumbuh diantara pusar dan kewanitaannya. Tak lama kemudian Mbak Nin berjongkok dan mendekatkan celah surgawinya ke mulutku. Aku langsung tahu apa yang harus kulakukan.
"Kamu pasti pengen ini khan sayang?" Tanya Mbak Nin. Tetapi Mbak Nin tidak langsung menempelkan lubang hangatnya ke mulutku tapi dia hanya bersujug diatas wajahku. Jarinya yang lentik mulai memainkan barangnya sendiri. Dengan gerakan memutar berulang yang berulang kali, Mbak Nin memainkan wahana surgawinya. Tangan kanannya membelai rambutku sesekali, sedangkan jari-jemari nya dengan lincah memainkan kemaluannya yang sudah berubah warna. yang Asalnya putih mulus, sekarang menjadi merah muda, bagaikan bunga anggrek yang tumbuh di pagi hari di tempa sinar surya. Benar-benar suatu pemandangan yang indah. Setelah puas mempermainkan kemaluan bagian luarnya. Jari telunjuk dan jari tengahnya mulai membuka celah surga itu, sehingga akhirnya celah itu terbuka dan memperlihatkan penghuni tunggalnya, sebuah daging kecil yang sudah memerah muncul diantara celah itu.
"Nin, aku pengen Clit kamu." Pintaku. Mbak Nin akhirnya menuruti apa mauku, dia menempelkan kewanitaannya ke mulutku. Aku jilat dan aku kulum disertai dengan sedikit hisapan di Clit-nya membuat mbak Nin tergila-gila pada permainan lidahku.
"Oufffft, ffttttt..., ah..., Ow...eeegggghhhh...!" "Sayangku..., ahhhhh..., Oughhh...!" "Enak sayang..., terus...ahhhhh.!" Suara desahan sang bidadari membuatku semakin gila. Sudah saatnya sekarang aku yang memegang kendali. Aku ingin memperbudaknya sekarang, karena selama ini aku hanya terikat dan dijadikan budak olehnya. Aku mengendalikan diriku sesaat, aku hentikan permainan mulutku.
"Sayangku..., terus donk jangan berhenti...!" Mbak Nin mulai heran. Aku tetap terdiam sambil mengumpulkan tenaga. Akhirnya dengan sekuat tenaga dan sedikit erangan...,
"Iiiiiiii...Ya...!" Aku berhasil memutuskan kedua tali yang mengikat tanganku. Mbak Nin tampat terkejut. Aku lemparkan tubih Mbak Nin yang masih mengangkangi wajahku kesamping sebelah kanan tubuhku. Aku membungkuk dan melepaskan tali yang mengikat kakiku serta menarik celana dalam disertai celana jeans ku, sehingga aku kembali seperti sedia kala, telanjang dada dengan celana jeans Levis 501.
"Ampun sayang..., ternyata kamu bisa lepas juga ya...!" Kata Mbak Nin. Aku menarik tubuhnya ketengah tempat tidur.
"Sekarang aku yang berkuasa." Kataku perlahan. Aku merangkak menghampirinya. "Awas kamu ya...!" Kataku. "Dari tadi kamu terus yang berkuasa, sekarang giliran aku." Kataku dengan nada sedikit aku buat lebih seram. "Suka atau tidak suka, kamu harus siap." Kataku lagi.
"Ampun, aku minta ampun sayang." Kata Mbak Nin dengan posisi seperti yang sedang terpojok dan ketakutan, tapi dari sorot wajahnya aku tahu sekali bahwa dia sangat menginginkan aku saat itu.
"Kamu siap ya, sekarang giliran ku." Kataku setelah wajah kami saling berdekatan. "Jangan kasar ya, pelan-pelan aja...!" Kata Mbak Nin sambil tersenyum.
Kemudian aku kecup dengan mesra bibirnya. Bukan kecupan penuh nafsu, walaupun saat itu aku sudah di kuasai oleh nafsu setan. Saat itu aku kecup dia seperti kecupan pertama dari seorang yang sangat mencintai gadisnya.
"Nin, kamu memang cantik sekali." Kata ku. "Gustaf, aku sayang kamu." Kata Mbak Nin. Aku kembali mengecup bibirnya dengan mesra, tapi..., Mbak Nin mengecupku dengan penuh nafsu seakan Mbak Nin ingin memakan mulutku dan menelan kepalaku bulat-bulat. Lidah kami bertemu di dalam dan di luar mulut. Air ludah nya yang hangat terasa indah sekali membasahi bibirnya, membuatku seakan ingin terus mengecupnya. Tapi..., ada sesuatu yang menarik penglihatan ku. Dua buah gumpalan daging yang sedikit menyembul dari balik handuk merah muda itu membuat ku menghentikan kecupanku. Dari sana aku tatap wajah Mbak Nin sesaat, dia hanya menundukan kepalanya saja. Mbak Nin tahu benar apa yang akan aku lakukan terhadapnya, dan tampaknya dia menyetujuinya.

 Aku kembali ke arah dua gumpalan itu, dan diantara gumpalan itu aku lihat ada sebuah ikatan yang mengikat handuk itu. Aku mengangkat tubuh Mbak Nin untuk membenarkan posisinya. Sekarang Mbak Nin terlentang di atas tempat tidurku. Aku membuka handuk itu dan membuangnya kelantai. Dan..., Mbak Nin sekarang benar-benar telanjang bulat tanpa sehelai benang pun yang menutupi tubuh surganya.
Tubuhnya yang merupakan perpaduan antara pitih bersinh dan kuning langsat itu membuatku gila memandangnya. Perutnya yang sangat datar, disertai lekukan otot yang sedikit terlihat menandakan Mbak Nin memang pakarnya menjaga tubuh. Tanpa pikir panjang lagi, aku tindih tubuh 170cm itu dan langsung aku daratkan lidahku tepat di puting susunya yang berwarna merah muda. Aku putar lidah ku di sekitar putingnya, aku permaunkan terus payudara sempurna itu dengan lidahku. Aku jilat, aku hisap dan kadang ditambah dengan sedikit gigitan mesra dariku.
"Ahhh, sayang..., terus...offttt...!" Desahannya membuatku menikmati sekali hal ini. Kedua tangannya memegang kiri kanan kepalaku. Mbak Nin berusaha menahan tekanan mulutku ke Payudaranya. Tapi itu semua tidak berpengaruh sama sekali bagiku untuk menikmati surga yang ada didepanku.
"Gustaf..., stop sayang aku nggak kuat lagi...!" "Aku buka celana kamu ya sayang...!" Mbak Nin mendorongku dan menuntunku berdiri di pinggir tempat tidur. Dia membuka jeans ku dan menurunkan celana dalamku untuk yang kedua kalinya.
"Eh... ternyata punyamu sudah tegak juga ya!" Kata Mbak Nin yang lansung mengulum kontolku. "Ahhhgg...Nin..., tadi khan udah...!" Kata ku lirih karena menahan rasa nikmat yang luar biasa. "Aku pengen lagi...!" Mbak Nin berujar sambil kembali meneruskan kulumannya. Kontolku makin terlihat basah kuyup oleh ludah hangat Mbak Nin. Rasa hangay yang menjalar tubuhku membuat aku sdikit tidak bisa menahan diri. Ada sesuatu yang mengalir di atas pangkal kontolku. Ada sesuatu yang ingin aku keluarkan agar kenikmatan ini terus mencapai puncak. Ser...ser...ser... rasa desiran kenimatan itu sedah hampir di puncak, terus naik...dan terus naik seiring dengan kuluman dan hisapan mulut sang bidadari ke rudalku.
"Chiok...chiok...chok...chop..chop...!" Suara itu...ah...suara hisapan mulut Mbak Nin ke kontolku membuatku tak tahan lagi...aku hampir Orgasme...dan...,
"Ahhh...udah dulu sayang...sekarang giliran aku ya...!" Kata ku menghentikan kegiatan Mbak Nin. Sebab kalau tidak tentu saja aku mencapai punckaku lebih dahulu dan permainan kemungkinan akan selesai. Aku tak mau hal itu terjadi. Aku masih ingin menikmatinya lebih lama lagi.
"Sini sayang, dudu di pinggir tempat tidur ya...!" Kata ku. Setelah duduk di pinggir tempat tidur, dengan kaki yang menjuntai rapat ke bawah membuatku tang dapat melihat pintu gerbang menuju sorga milik Mbak Nin. Aku bersejud dihadapan kedua kaki panjangnya. Aku perhatikan lagi...memang..., Mbak Nin memang sempurna... bahkan jari-jari kakinya pun bisa membuat aku bergairah. Putih, bersih tanpa cacat sedikitpun.

Perlahan aku renggangkan kedua kakinya. Dan benar saja..., terlihat celah yang baru saja aku lihat tadi.
"Yup..., nggak usah di nanti-nanti...!" Mulut, lidah, dan bibirku langsung menyeruak masuk ke memeknya.
"Oh...Gustaf, tadi khan udah sayang...!" Kata Mbak Nin sambil menengadahkan kepalaku. "Aku pengen lagi...!" Jawabku sama percis dengan yang tadi Mbak Nin katakan. Setelah aku jawab, Mbak Nin dengan sendirinya merebahkan tubuh semampainya di tempat tidur dan membuka kaki surganya lebar-lebar. Aku tahan kedia pahanya dengan kedua tanganku. Aku renggangkan sebisa mungkin kedua kaki Mbak Nin yang membuat memeknya melebar kesamping.
"Ah...memek itu..." Pikirku. Tak ada cacat sama sekali. Walalupun kaki Mbak Nin sudah aku renggangkan semaksimal mungkin, tetapi tetap saja memek Mbak Nin masih tetap rapat, sehingga aku harus berusaha lebih keras untuk mendapatkan kacang kenikmatannya.
"Nyam...nyam...nyam...!' AKu bagaikan Anjing kelaparan yang sudah seminggu tidak dikasih makan oleh tuannya, dan sekarang makanan yang paling enak sudah tersedia didepanku. Tentunya anjing itu akan amat sangat rakus melahap makanan iti.
"Oghhhh...,fffttt..., ahhhhhhh...uhhhhh...hgg..!" Mbak Nin Mendesah hebat seiring dengan jilatanku dan hisapan mulutku ke klitoris dan daerah sekitar memeknya itu. Memeknya mengeluarkan aroma wewangian mawar. Aku tidak berbohong sama sekali. Sungguh..., memeknya harum seharum mawar...sekali lagi aku tidak bohong. Semakin basah memek Mbak Nin semakin gila aku mempemainkannya dan...,
"Gustaf..., sekarang sayang...sekarang...aku nggak kuat...sekarang...sayang pokoknya sekaraannnngggg...!" Mbak Nin menjerit.
Aku heran kenapa dia menjerit begitu. " Sekarangggggg...Aoowwwwwwww...aaahhhhh." "Gustaf...!" Jerit Mbak Nin. Aku hanya tersenyum, aku mengerti bahwa Mbak Nin mengalami Orgasmenya yang pertama. "Tunggu dulu sayang sebentar..." Mbak Nin menuju ketengah tempat tidur, aku perhatikan apa yang dia mau lakukan. Mbak Nin berbaring dan mengganjalkan kepalanya dengan bantal. Dia meregangkan dan melipat kakinya. Aku tak tahan lagi, aku hampiri dia dan...,
"Mana punya mu Gustaf, cepet masukin ke punya ku...!" Kata Mbak Nin sambil kedua tangannya memeluk leherku. Aku memegang kontolku dan mengiringnya kedepan pintu pintu gerbang menuju surga dunia itu. Kepala kontolku kini menempel pada bibir memek Mbak Nin, aku tekan perlahan, sangat perlahan. Tapi kepala kontolku sedikit tergelincir. Aku coba lagi, tergelincir lagi. Kadang kesebelah kiri atau kesebelah kanan memek Mbak Nin.
"Nin jangan di tahan donk, susah neh...!" Kataku sedikit kesal. "Aku nggak nahan koq, kamu lihat sendiri aku sudah dalam posisi yang kayak gini...! Katanya "Coba terus dong sayang...!" Pintanya.
Tapi memang benar pikirku. Posisi kaki mbak Nin yang sudah melebar semaksimal gitu sudah tidak mungkin lagi memperlebar memeknya. Jadi..., memeknya memang benar-benar rapat sekali, bagaikan memek perawan. Sekali lagi aku tidak bohong.
Inilah, kegunaan dari Squat dengan pisisi kaki lebar ataupun posisi kaki rapat yang selalu Mbak Nin lakukan di tempat Fitness. Aku lanjutkan lagi...,
Dengan sedikit tenaga tambahan..., Aku genggam penuh kontolku dengan hanya menyisakan bagian leher dan kepalanya saja. Aku fokuskan dengan cermat agar kepala kontolku menempel diantara kedua celah memek Mbak Nin. Aku tekan dengan tenaga ekstra tetapi tetap perlahan.
"Sayang..., pelan...pelan-pelan...o..ohhhh, pelan sayang." Mbak Nin mulai meracau lagi. Perlahan tapi pasti, aku dorong kontolku menyeruak masug dianta celah surga yang basah milik Mbak Nin. Dan tak lama kemudian...,
"Bleeesssssskkk" Kepala dan leher kontolku masuk. Lalu langsung aku tekan sedalam mungkin sampai pangkal kontolku.
"Aooohhhhh... Gustafaaaa...!" Mbak Nin mendesah bersamaan dengan aku menahan nafasku. Aku tahan sejenak kontolku didalam memek Mbak Nin. Aku tengok sedikit kebawah ternyata kontolku memang benar-benar habis sampai kepangkalnya, amblas tak bersisa di telan lorong sempit dan hangat itu.
"Ayo sayang...lakukan apa yang kamu mau... Aku pasrah sama kamu sayang...! Kata Mbak Nin.
Aku tahan dulu agar aku dapat merasakan kehangatan yang melingkupi rudalku. Mbak Nin hanya memandangku dengan wajah ayunya. Kami berdua terus saling berpandangan.
"Nin..., betapa cantiknya kamu sayang." Bisikku sambil mulai mengangkat kejantananku perlahan bersamaan dengan mata Mbak Nin yang kini terpejam dan lehernyapun menengadah keatas. Aku tarik perlahan sampai sebatas leher kejantananku dan aku tekan lagi sampai amblas lagi. Terus aku lakukan itu dengan perlahan tetapi teratur. Aku tarik..., aku tekan...tarik...tekan...terus begitu. Akurasakan sekali kenikmatan yang tiada tara. Dengan gaya misionaris begini, membuatku dapat menciumi Mbak Nin dari mulai leher, kening, pipi, teliga, dan bibir. Kami berdua saling menjilati, saling mengulum, saling mencium dan kadang saling menggigit satu sama lain. Aku terus menggerakkan pantatku naik turun, sehingga kejantananku tetap keluar masuk di dalam memek Mbak Nin.

Mbak Nin Di Kamarku 04
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar